Opini

Janji Kerakyatan dalam Jerat Kapitalisme: Analisis Debat Kandidat Paslon Kabupaten Luwu Timur

Icam
28
×

Janji Kerakyatan dalam Jerat Kapitalisme: Analisis Debat Kandidat Paslon Kabupaten Luwu Timur

Sebarkan artikel ini

Oleh Andi Syahrul

Opini, IniNews – Luwu Timur adalah salah satu daerah di Indonesia yang perekonomiannya sangat bergantung pada sektor tambang, menciptakan dinamika sosial-ekonomi yang khas namun rentan terhadap ketergantungan dan ketimpangan. Dalam setiap pemilihan kepala daerah, visi-misi kandidat kerap membawa janji perubahan struktural atau perbaikan ekonomi, dengan banyak fokus pada upaya diversifikasi sektor ekonomi. Namun, sejarah menunjukkan bahwa janji-janji ini sering kali tidak sepenuhnya terealisasi atau malah memperpanjang relasi ketergantungan pada sektor kapitalis, sehingga perubahan yang dijanjikan menjadi sebatas ilusi.

 

Analisis ini menjadi penting karena retorika yang diusung oleh para calon pemimpin perlu dicermati lebih jauh untuk mengetahui kepentingan-kepentingan apa yang tersembunyi di baliknya. Dengan menggunakan perspektif Marxisme, kita dapat menggali bagaimana visi-misi tersebut berpotensi melanggengkan kapitalisme ekstraktif dan ketergantungan ekonomi, serta bagaimana posisi rakyat dan kelas pekerja tetap terpinggirkan. Analisis ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat Luwu Timur agar lebih kritis dalam memilih calon pemimpin yang tidak hanya berjanji, tetapi juga memiliki komitmen kuat untuk perubahan struktural yang berpihak pada kesejahteraan rakyat luas, bukan hanya pada kepentingan modal besar. Dalam analisis berikut, Tafsir Visi Misi setiap paslon akan dibahas untuk memahami apakah visi mereka mampu menghadirkan kesejahteraan berkelanjutan, atau justru memperpanjang ketergantungan kronis yang membuat masyarakat terus berada di posisi subordinat.

 

Tafsir Visi Misi Paslon 01 : Mengarah pada ekonomi kerakyatan dan pemerataan, terutama dengan mengurangi ketergantungan pada sektor pertambangan. Fokus pada sektor pertanian, perikanan, dan ekonomi berbasis komunitas menunjukkan pendekatan yang lebih populis. Mengusung program yang mendorong pemerataan ekonomi, menekankan pada peningkatan daya saing lokal yang berbasis sumber daya alam non-ekstraktif. Visi untuk pembangunan berkeadilan menunjukkan perlawanan halus terhadap dominasi sektor tambang.

 

Analisis : Meskipun Paslon 1 menekankan pengembangan ekonomi non-pertambangan, terdapat kontradiksi besar dalam kepemimpinan Isrullah sebagai pimpinan perusahaan tambang. Secara material, ia berada dalam kelas borjuis pemilik modal yang memiliki kekuatan di sektor ekstraktif. Ini memperlihatkan dilema “kesadaran palsu” di mana retorika kemandirian ekonomi dan non-pertambangan berfungsi sebagai pengalihan, padahal kepentingannya tetap terhubung pada akumulasi modal melalui eksploitasi SDA. Paslon ini, sebagai bagian dari kelas dominan (pemilik modal), menghadapi hambatan struktural untuk merealisasikan agenda non-tambang yang mereka klaim karena akan langsung mengurangi sumber penghasilan mereka sendiri. Kepentingan kapital dalam tambang yang mereka wakili membuat “ekonomi kerakyatan” lebih menjadi alat politik daripada kebijakan struktural yang autentik.

 

Tafsir Visi Misi Paslon 02 : Berbasis pada stabilitas dan keberlanjutan, dengan pendekatan yang konservatif terhadap pembangunan. Sebagai petahana, mereka menekankan kelanjutan proyek dan stabilitas ekonomi melalui sektor tambang yang berkontribusi signifikan pada APBD. Menonjolkan pencapaian pemerintahan mereka yang telah berjalan, seperti pertumbuhan APBD dan penghargaan-penghargaan yang diperoleh. Fokus pada program-program sosial inklusif menunjukkan bahwa mereka mencoba menciptakan dampak sosial langsung melalui pemerataan dana desa dan bantuan lainnya.

 

Analisis : Sebagai petahana yang terus mengandalkan sektor tambang, Paslon 2 mewakili kelas penguasa yang mempertahankan relasi produksi kapitalis. Mereka menggunakan sektor tambang sebagai mekanisme untuk mempertahankan kelas dominan, di mana anggaran daerah tetap bersumber dari keuntungan pertambangan yang eksploitatif. Retorika stabilitas dan keberlanjutan ini menjadi alat untuk melanggengkan kontrol ekonomi atas sumber daya. Dalam kerangka struktural, Paslon 2 memainkan peran hegemonik dengan menggunakan retorika “keberlanjutan” untuk membenarkan ketergantungan pada tambang. Ketergantungan ini berfungsi memperpanjang relasi kapital yang menguntungkan pemilik modal dan pemerintah daerah, sambil menunda redistribusi kesejahteraan yang sebenarnya. Sejarah ekonomi kapitalis yang bergantung pada tambang menunjukkan pola akumulasi kapital yang terus terpusat pada elit ekonomi dan politik. Relasi ini mempertahankan struktur ketergantungan (dependency) sehingga kelas pekerja tetap dalam posisi subordinat tanpa jaminan kesejahteraan jangka panjang. Dalam konteks ini, “keberlanjutan” menjadi hanya wacana untuk mempertahankan struktur ekonomi kapitalis.

 

Tafsir Visi Misi Paslon 03 : Pendekatan inklusif dan berbasis pemberdayaan, dengan fokus pada gotong royong. Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat umum menunjukkan ideologi yang sosial-demokratis. Fokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keseimbangan sosial-ekonomi di semua sektor, termasuk melalui pembangunan berbasis komunitas. Usulan tiga “Kartu Sakti” untuk pendidikan, kesehatan, dan lansia menunjukkan upaya untuk mendekatkan layanan publik dengan masyarakat.

 

Analisis : Retorika inklusi sosial dan “Kartu Sakti” tampak sebagai taktik populis untuk mendapatkan dukungan kelas pekerja dan masyarakat bawah. Namun, karena tanpa dukungan basis produksi yang kuat atau sumber pendanaan jelas, kebijakan ini cenderung gagal dan menjadi alat hegemonik semu. Fokus pada bantuan langsung hanya memitigasi ketidaksetaraan tanpa mengubah relasi produksi kapitalis yang mendasarinya. Paslon ini menggunakan janji program sosial untuk membangun legitimasi di mata rakyat, namun tanpa transformasi signifikan dalam sistem ekonomi yang ada. Keterbatasan ini mencerminkan posisi mereka sebagai kelas menengah politik yang mencoba menjembatani kepentingan masyarakat namun tidak mampu melakukan perubahan radikal karena mereka terjebak dalam struktur kapitalis. Program bantuan sosial langsung tanpa perubahan struktural dalam kepemilikan atau kontrol modal hanya berfungsi sebagai “kesadaran palsu” untuk kelas pekerja. Secara historis, upaya populis ini hanya memperpanjang ketergantungan masyarakat bawah pada bantuan daripada mendorong transformasi struktural yang lebih mendalam.

 

 

 

 

Analisis Topik : Ketenagakerjaan

Paslon 1: Janji Paslon 1 untuk Mengedepankan pengembangan sumber daya manusia yang berbasis pada sektor pertanian dan industri lokal untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan daya tarik pertanian melalui teknologi menghadirkan kontradiksi, mengingat pertanian modern membutuhkan modal besar yang cenderung dimiliki oleh elit ekonomi. Hal ini berpotensi meningkatkan ketimpangan melalui proletarisasi pekerja kecil yang tergantikan oleh mesin. Proses mekanisasi ini, dalam perspektif historis, cenderung mengalienasi tenaga kerja dan menempatkan buruh pertanian dalam posisi kelas proletar yang terpinggirkan. Transformasi ini menguntungkan pemilik modal besar dalam jangka panjang.

 

Paslon 2: Pragmatik dan berbasis realita ekonomi; menekankan peran sektor pertambangan dalam mendukung anggaran untuk sektor lain. Memanfaatkan APBD dan dana hasil tambang untuk mendukung sektor pertanian, menargetkan penyediaan 20,000–45,000 lapangan kerja melalui pembangunan kawasan industri. Ketergantungan pada sektor tambang menempatkan tenaga kerja dalam kondisi precarious (ketidakpastian). Sebagai kelas kapitalis, mereka menggunakan “kesejahteraan dari tambang” untuk menjaga stabilitas buruh. ketergantungan pada tambang menunjukkan bahwa setiap krisis ekonomi akan mengorbankan tenaga kerja lebih dulu, sementara pemilik modal tetap aman dalam akumulasi keuntungan.

Paslon 3: Fokus pada pemberdayaan tenaga kerja lokal melalui pendidikan keterampilan. Menawarkan balai latihan kerja (BLK) di setiap kecamatan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal. Janji BLK di setiap kecamatan dapat dilihat sebagai upaya penyiapan tenaga kerja untuk pasar yang dikendalikan kapital, bukan untuk membebaskan kelas pekerja. Buruh hanya dilatih sesuai kebutuhan modal. Jadi, walaupun programnya populis, meski tampak pro-rakyat, namun adalah kesadaran palsu, karena tidak berakar pada perubahan struktural. Program ini tidak menyelesaikan masalah kelas namun hanya memperkuat ketergantungan masyarakat.

 

 

Analisis Topik : Pertanian dan Perikanan

 

Paslon 1 : Mendorong hilirisasi pertanian, mengurangi ketergantungan pada tambang, Memperkenalkan teknologi modern di sektor pertanian dan perikanan. Namun, Hilirisasi pertanian hanya akan menguntungkan kapitalis yang menguasai modal dan teknologi, dengan buruh tani tetap dalam posisi eksploitasi. Dalam konteks kapitalisme, pengembangan sektor ini tanpa reformasi agraria, berarti modal tetap berada di tangan borjuis, sementara petani kecil tereksploitasi.

 

Paslon 2 : Progresif dengan pendekatan berbasis anggaran; mengembangkan sektor pertanian dengan anggaran besar dari APBD, Melanjutkan program sebelumnya dengan peningkatan anggaran dua kali lipat untuk pertanian dan perikanan. Namun, Peningkatan anggaran pertanian hanya sebagai “mitigasi” atas kerusakan sosial yang disebabkan oleh eksploitasi tambang. Ini melestarikan eksploitasi modal. Sumber daya pertanian tetap dikendalikan oleh kapital melalui dana tambang, yang menunjukkan subordinasi sektor pertanian terhadap kepentingan kapitalis. Dampaknya, Ketergantungan pada anggaran tambang mengukuhkan kontrol kapital atas pertanian, menjadikan sektor ini alat kapital untuk meredam potensi konflik kelas.

 

Paslon 3 : Inklusif, mengusulkan program bantuan langsung bagi nelayan dengan cara Memberikan pupuk gratis dan meningkatkan sarana dan prasarana budidaya untuk nelayan. Namun, Program bantuan langsung pupuk hanya solusi sementara yang tidak menyentuh akar permasalahan kelas di sektor agraris. Ketergantungan pada program bantuan tanpa redistribusi lahan tetap menempatkan petani dalam posisi subordinat. Retorika populis ini biasanya gagal menghapus struktur kapitalistik dalam pertanian, di mana petani tetap tidak memiliki kontrol atas alat produksi.

 

Analisis Topik : Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan

Paslon 1: Cukup progresif, mengutamakan kualitas fasilitas dan peningkatan kesejahteraan guru dengan metode janji memperbaiki fasilitas pendidikan dan menaikkan upah guru. Namun, Kebijakan upah guru dan fasilitas pendidikan menunjukkan pengalihan isu ketimpangan kelas melalui penyediaan fasilitas dasar tanpa mengubah relasi ekonomi yang eksploitatif. Kebijakan ini tidak akan mengubah kondisi sosial pekerja, hanya menjadi alat stabilisasi untuk meredam kesenjangan.

 

Paslon 2 : Efisien, menekankan pada keteraturan anggaran untuk pendidikan melalui Program beasiswa dan bantuan pendidikan berbasis regulasi ketat. Namun, Kebijakan ini mengesampingkan hak sosial dalam pendidikan, dengan pendekatan formal yang tidak mengutamakan transformasi struktural.

 

Paslon 3: Populis, memberikan bantuan yang mudah diakses, seperti Kartu Pintar, Memberikan bantuan seragam dan beasiswa untuk siswa di berbagai jenjang. Namun, Bantuan langsung melalui “Kartu Pintar” mengalihkan perhatian dari perubahan struktural dan hanya menyediakan akses dasar tanpa mendistribusikan sumber daya.

 

 

 

Analisis Topik : Ekonomi daerah dan Investasi

Paslon 1: Kemandirian ekonomi melalui investasi lokal di sektor non-tambang, Fokus pada pengembangan sektor pertanian yang berkelanjutan. Dengan janji investasi di sektor non-tambang, Paslon 1 tampak berupaya memperlebar basis ekonomi. Namun, sebagai pengusaha tambang, strategi ini menunjukkan kontradiksi karena pengalihan investasi dari tambang ke sektor lain justru akan sulit tercapai ketika kepentingan tambang masih kuat. Ataupun memperlebar basis ekonomi sebagai cara mengekspansi hasil akumulasi kapital. Sejarah kapitalisme menunjukkan bahwa diversifikasi ekonomi sering kali dijalankan oleh elit ekonomi untuk memperluas dominasi dan menciptakan posisi ekonomi yang lebih stabil bagi kapitalis, tanpa perubahan signifikan pada kesejahteraan kelas pekerja. Dengan ketergantungan pada sektor tambang sebagai sumber dana utama daerah, Paslon 2 merepresentasikan ideologi kapitalis yang mengandalkan ekstraksi sumber daya alam untuk mendukung akumulasi kapital dan kontrol daerah. Ketergantungan ini adalah bentuk eksploitasi borjuis atas sumber daya yang seharusnya bisa menjadi milik kolektif rakyat. Ekstraksi sumber daya telah lama menjadi alat kapitalis untuk memperkuat dominasi elit, di mana keuntungan tambang hanya mendistribusikan sebagian kecil pada pekerja, sementara mayoritas dialihkan kepada kapitalis pemilik modal.

 

Paslon 2 : Pragmatis, menggunakan tambang sebagai sumber pendanaan sektor lain melalui Melanjutkan pertumbuhan dengan dana dari sektor tambang. Dengan ketergantungan pada sektor tambang sebagai sumber dana utama daerah, Paslon 2 merepresentasikan ideologi kapitalis yang mengandalkan ekstraksi sumber daya alam untuk mendukung akumulasi kapital dan kontrol daerah. Ketergantungan ini adalah bentuk eksploitasi borjuis atas sumber daya yang seharusnya bisa menjadi milik kolektif rakyat.

 

Paslon 3 : Diversifikasi, mengundang investasi untuk berbagai sektor termasuk UMKM dengan Menargetkan kawasan industri baru yang menyerap tenaga kerja. Pendekatan populis untuk merangsang UMKM dan menghadirkan investor di kawasan industri tampak sebagai upaya inklusif. Namun, kawasan industri yang mempekerjakan buruh lokal tetaplah menjadi alat kapital untuk eksploitasi tenaga kerja. Penempatan kawasan industri dalam konteks kapitalisme kerap menjadi alat untuk mempertahankan sistem ketergantungan masyarakat lokal pada kapital, tanpa memberikan hak kepemilikan alat produksi kepada kelas pekerja.

 

KESIMPULAN:

Paslon 1 : Paslon ini membawa narasi ekonomi kerakyatan dan kemandirian lokal sebagai jawaban terhadap ketergantungan ekonomi pada sektor tambang, yang kian meresahkan masyarakat. Mereka menawarkan visi alternatif yang seolah berfokus pada diversifikasi ekonomi dan pengembangan potensi lokal. Namun, meskipun narasi ini tampak progresif, terdapat tantangan dalam penerapannya mengingat struktur ekonomi yang sangat berorientasi pada kapital dan dominasi sektor ekstraktif. Pendekatan mereka berisiko hanya menjadi strategi politik untuk memperluas cakupan kapital tanpa perubahan struktural yang sesungguhnya dalam relasi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat. Dengan demikian, visi ekonomi kerakyatan ini perlu diuji lebih jauh dalam komitmen mereka untuk benar-benar menyeimbangkan kepentingan rakyat dengan dinamika kapital yang ada.

MENGUSUNG PERUBAHAN, NAMUN TERJEBAK DALAM KEPENTINGAN KAPITAL.

 

Paslon 2: Sebagai pasangan petahana, Paslon 2 cenderung memilih jalur pragmatis, mempertahankan ketergantungan ekonomi pada sektor tambang yang dianggap sebagai pilar utama pembangunan daerah. Meskipun berhasil menciptakan stabilitas ekonomi, mereka memperkokoh struktur ekonomi ekstraktif yang mempertahankan daerah dalam kondisi ketergantungan kronis terhadap sumber daya alam. Keputusan ini mengukuhkan status mereka sebagai perwakilan kepentingan kelas kapitalis, yang menikmati keuntungan dari eksploitasi sumber daya tanpa menghadirkan perubahan fundamental bagi kesejahteraan masyarakat luas. Dengan pendekatan ini, mereka lebih transparan dalam komitmen terhadap status quo dan kurang memiliki visi yang memperjuangkan pemberdayaan kelas pekerja atau diversifikasi ekonomi yang berkelanjutan.

STABILITAS EKONOMI YANG DIPERTAHANKAN, TETAPI MELANGGENGKAN KETERGANTUNGAN STRUKTURAL.

 

Paslon 3 : memilih pendekatan populis, menawarkan berbagai program sosial dan bantuan langsung yang menyasar kebutuhan mendesak masyarakat. Dengan program kartu-kartu bantuan, mereka mencoba menarik simpati rakyat melalui pemberian manfaat langsung. Namun, janji-janji ini sekadar mengatasi gejala, bukan mengubah akar permasalahan struktural, seperti ketimpangan kelas dan distribusi kekayaan yang timpang. Pendekatan ini secara tidak langsung memperpanjang relasi ketergantungan rakyat pada negara, menjauhkan mereka dari kemandirian ekonomi yang sejati. Di bawah narasi bantuan sosial, visi ini mengesankan inklusivitas, tetapi tetap beroperasi dalam batas kapitalisme yang mempertahankan status quo tanpa keberanian untuk melawan akar ketidakadilan ekonomi.

 

VISI POPULIS YANG MENARIK PERHATIAN, NAMUN CENDERUNG DANGKAL DAN KURANG MENYENTUH PERUBAHAN MENDASAR