Opini, IniNews – Perdagangan manusia yang marak melalui Nunukan menuju Malaysia adalah cerminan nyata ketimpangan dan lemahnya pengawasan yang menghubungkan dua negara. Antara Indonesia dan Negeri Jiran, Malaysia.
Nunukan sebagai salah satu daerah perbatasan Nusantara semestinya menjadi pekarangan bagi masuknya ekonomi di Indonesia, justru telah berubah menjadi jalur gelap bagi mereka yang terjebak dalam perbudakan modern. Data yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pada 2020, lebih dari 9.000 pekerja migran ilegal melintasi Kalimantan Utara, dengan sebagian besar tujuan mereka adalah Malaysia.
Nunukan menjadi titik rawan karena letaknya yang cukup dekat dengan Malaysia, serta minimnya pengawasan di wilayah perbatasan yang memudahkan sindikat perdagangan manusia bergerak bebas.
Perdagangan manusia bukan hanya soal angka atau statistik, tetapi juga soal Hak Azasi yang terpinggirkan. Pekerja migran yang diperdagangkan sering kali dipaksa bekerja di sektor informal dengan kondisi yang jauh dari manusiawi—baik itu sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit, pekerja rumah tangga, atau bahkan di sektor prostitusi.
Pekerja migran tidak hanya kehilangan kebebasan, tetapi juga hak dasar mereka sebagai manusia, dengan upah yang tidak sesuai dan hidup dalam kondisi yang mencekam. Ironisnya, mereka yang paling rentan adalah perempuan dan anak-anak, yang menjadi sasaran utama sindikat perdagangan ini.
Fenomena ini tak lepas dari faktor kemiskinan struktural di kampung halaman tiap-tiap korban, yang mendorong banyak korban, terutama dari daerah-daerah terpencil, untuk mencari peluang pekerjaan di luar negeri. Namun, di balik impian bekerja di Malaysia, mereka sering kali tidak menyadari bahwa mereka justru terjerat dalam jaringan perdagangan manusia yang kejam.
Lembaga-lembaga pemerintah dan penegak hukum tampaknya kurang sigap dalam menangani masalah ini. Praktek perekrutan pekerja migran yang ilegal, serta lemahnya koordinasi antar lembaga, membuat sindikat ini semakin tancap gas tanpa hadangan berarti.
Pemerintah seharusnya bergerak cepat memperkuat pengawasan di wilayah perbatasan. Peningkatan jumlah petugas di pos-pos pengawasan, disertai pemeriksaan identitas yang lebih ketat, akan mengurangi ruang gerak bagi para pelaku perdagangan manusia.
Selain itu, penegakan hukum harus lebih tegas dengan sanksi yang berat bagi mereka yang terlibat dalam jaringan perdagangan manusia, termasuk oknum-oknum yang membantu kelancaran praktik ilegal ini. Kerja sama dengan pihak berwenang di Malaysia juga menjadi sangat penting untuk memutus mata rantai perdagangan ini di kedua negara.
Penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat juga menjadi langkah krusial dalam mencegah agar warga tidak terjebak dalam jeratan sindikat perdagangan manusia. Informasi yang lebih luas mengenai risiko dan dampak buruk perdagangan manusia, serta cara mengenali tawaran pekerjaan palsu, harus disebarluaskan melalui berbagai saluran secara daring dan luring. Program-program penyuluhan ini harus menyentuh langsung masyarakat di daerah rawan, untuk membangun kesadaran akan bahaya yang mengintai mereka.
Namun, untuk menyelesaikan masalah ini secara menyeluruh, Indonesia perlu melakukan reformasi pada sistem pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Proses perekrutan pekerja migran harus lebih transparan, sah, dan berbasis pada perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM).
Agar kejadian seperti ini tidak terulang, penting bagi pemerintah untuk mengedepankan mekanisme perekrutan yang rigid dan menghindari peran pihak ketiga yang tidak berizin. Bagi korban yang berhasil diselamatkan, perlu ada program rehabilitasi dan reintegrasi agar mereka tidak terperangkap lagi dalam praktik serupa ke depannya.
Dalam jangka panjang, penanganan perdagangan manusia melalui Nunukan dan jalur perbatasan lainnya harus melibatkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga internasional. Jika langkah-langkah ini dilakukan secara terkoordinasi dan menyeluruh, kita berharap perbatasan Nunukan bisa berfungsi dengan baik sebagai jalur ekonomi, bukan justru menjadi pintu masuk perbudakan modern yang terus mengorbankan manusia Indonesia.