Opini

Demokrasi dan Fenomena Kotak Kosong, Apa yang Harus Dilakukan?

Tim Redaksi
48
×

Demokrasi dan Fenomena Kotak Kosong, Apa yang Harus Dilakukan?

Sebarkan artikel ini

Asri Tadda, Koordinator Relawan Perubahan Sulsel (RPS)

Ilustrasi Kolom Kosong

ININEWS – Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mendasarkan pada partisipasi rakyat, di mana setiap individu memiliki hak suara yang sama dalam pengambilan keputusan politik.

Salah satu ciri utama demokrasi adalah adanya kompetisi politik yang sehat dan transparan, di mana beberapa kandidat atau partai politik bersaing untuk memperoleh dukungan dari masyarakat.

Demokrasi, sebagai salah satu bentuk pemerintahan yang paling populer di dunia saat ini, didasarkan pada prinsip-prinsip dasar seperti kebebasan, partisipasi, dan representasi.

Dalam konteks politik, demokrasi memberi kesempatan kepada warga negara untuk memilih pemimpin mereka melalui proses pemilihan yang jujur dan adil.

Kotak Kosong

Belakangan ini, di Indonesia, muncul sebuah fenomena unik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dikenal dengan istilah “kotak kosong” atau “kolom kosong”, dimana hanya ada satu pasangan calon (paslon) yang maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Fenomena kotak kosong dikhawatirkan terjadi di banyak daerah pada Pilkada Serentak 17 November 2024 mendatang.

Pilkada dengan kotak kosong menjadi anomali dalam demokrasi, di mana esensi kompetisi politik dan pilihan rakyat menjadi terbatas. Hal ini menghadirkan tantangan baru bagi demokrasi, yang pada intinya mempengaruhi esensi dari kompetisi politik itu sendiri.

Pilkada dengan kotak kosong tidak hanya mengindikasikan kurangnya kompetisi politik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai kualitas demokrasi itu sendiri.

Ketika hanya ada satu calon yang maju, pemilih pada dasarnya kehilangan alternatif untuk memilih, yang mengarah pada kondisi di mana pilihan politik menjadi terbatas.

Dalam Pilkada dengan kotak kosong, pemilih dihadapkan pada pilihan untuk mendukung calon tunggal atau memilih kotak kosong, yang secara efektif menandakan penolakan terhadap calon tersebut.

Prinsip Demokrasi

Pada dasarnya, demokrasi menjamin bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih.

Pemilihan umum, baik itu untuk tingkat nasional maupun daerah, seharusnya menjadi arena kompetisi yang adil, di mana lebih dari satu calon atau partai bersaing untuk mendapatkan dukungan dari rakyat.

Kompetisi ini penting karena memungkinkan pemilih untuk menilai dan memilih calon yang dianggap paling kompeten dan sesuai dengan aspirasi mereka.

Dalam situasi ideal, pemilu yang kompetitif menghasilkan pemimpin yang legitimate dan akuntabel, yang pada gilirannya akan memperkuat sistem demokrasi.

Mengapa Kotak Kosong Terjadi?

Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya fenomena kotak kosong dalam Pilkada.

Pertama, kuatnya dominasi politik lokal.

Di beberapa daerah, partai atau figur politik tertentu mungkin memiliki dominasi yang begitu kuat sehingga menghalangi munculnya calon lain.

Dominasi ini bisa didorong oleh kontrol terhadap sumber daya, jaringan patronase, atau pengaruh yang luas di masyarakat.

Kedua, intervensi elit politik pusat.

Dominasi politik lokal kian menguat jika memiliki relasi dengan pemegang kekuasaan politik di tingkat pusat.

Belakangan ini, terlihat adanya upaya untuk memastikan kemenangan bagi paslon kepala daerah yang diusung oleh Parpol Koalisi pemenang Pilpres 2024 lalu.

Faktor ketiga, konsensus elit politik.

Kadang-kadang, elit politik di suatu daerah dapat mencapai kesepakatan untuk tidak bersaing dalam Pilkada demi menjaga stabilitas atau mempertahankan kekuasaan yang ada.

Ketiga, tetapi jarang terjadi, adalah akibat kurangnya calon alternatif.

Kurangnya calon yang memiliki kapasitas, popularitas, dan sumber daya yang memadai juga menjadi faktor penyebab munculnya fenomena kotak kosong.

Semua faktor di atas bisa saling berkelindan menguatkan munculnya koalisi gemuk yang hanya memberi kesempatan satu Paslon melenggang ke Pilkada, dan tidak menyisakan peluang bagi siapun yang hendak jadi penantang.

Dampak terhadap Demokrasi

Ketika fenomena kotak kosong muncul, beberapa dampak negatif terhadap demokrasi bisa terjadi, antara lain:

1. Penurunan Kualitas Demokrasi

Tanpa adanya kompetisi, esensi dari pemilu sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin yang paling layak menjadi tereduksi. Ini bisa mengarah pada penurunan kualitas pemimpin yang terpilih dan melemahkan akuntabilitas mereka terhadap rakyat.

2. Keterbatasan Partisipasi Politik

Pemilih mungkin merasa apatis atau tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam pemilu yang tidak kompetitif, yang pada akhirnya dapat mengurangi partisipasi politik secara keseluruhan.

3. Menurunnya Kepercayaan Publik

Ketika rakyat tidak diberikan pilihan yang beragam, kepercayaan mereka terhadap sistem politik dan proses demokrasi bisa menurun. Ini berpotensi menimbulkan ketidakpuasan sosial dan politik.

Mencegah Lahirnya Kotak Kosong

Fenomena kotak kosong pada Pilkada Serentak 2024, mau tak mau, harus dihadapi. Masyarakat bisa saja justru mencoblos kolom kosong pada kertas suara jika tak suka dengan Paslon tunggal yang ada.

Fakta kemenangan kotak kosong sudah terjadi di beberapa Pilkada sebelumnya di negeri ini. Jadi, hal tersebut bukan tidak mungkin terjadi lagi pada Pilkada Serentak November mendatang.

Secara jangka panjang, untuk mencegah lahirnya fenomena kotak kosong, beberapa langkah dapat diambil untuk memperkuat demokrasi dan memastikan bahwa Pilkada tetap menjadi ajang kompetisi yang sehat, antara lain:

1. Penguatan Kaderisasi Politik

Partai politik harus lebih aktif dalam menciptakan kader-kader yang kompeten dan siap untuk berkompetisi dalam Pilkada. Ini akan memastikan bahwa ada lebih banyak calon yang berkualitas yang dapat menawarkan pilihan kepada pemilih.

Idealnya, calon kepala daerah yang muncul adalah hasil dari proses kaderisasi parpol, bukan orang yang tiba-tiba muncul hanya karena memiliki modal kuat atau popularitas tinggi di masyarakat.

Dengan begitu, minimal secara personal seorang calon kepala daerah yang akan maju di Pilkada dapat dipastikan memiliki kapasitas politik dan kemampuan leadership yang memadai.

2. Regulasi yang Lebih Ketat

Pemerintah bisa memberlakukan regulasi yang mendorong lebih dari satu calon untuk maju dalam Pilkada. Misalnya, melalui insentif atau syarat administratif yang mencegah munculnya calon tunggal.

Yang tak kalah penting adalah harus ada ambang maksimum jumlah dukungan partai politik terhadap Paslon kepala daerah. Saat ini yang ada hanya dukungan minimum yakni 20% dari jumlah kursi di DPRD.

Idealnya, jika ada ambang minimum, maka juga harus ada ambang maksimum. Saya menyarankan agar ambang maksimum ditetapkan pada angka 40-45 persen dari jumlah kursi di DPRD, sehingga tetap memungkinkan kandidat lain memperoleh dukungan parpol.

3. Pendidikan Politik bagi Masyarakat

Meningkatkan kesadaran dan pemahaman politik di kalangan masyarakat sangat penting untuk mendorong partisipasi aktif dan kritis dalam pemilu.

Ketika masyarakat lebih sadar akan hak dan tanggung jawab politik mereka, tekanan untuk memiliki pemilu yang kompetitif juga akan meningkat.

Masyarakat yang terdidik secara politik juga tentu tidak rentan dimobilisiasi atau dibeli oleh uang, praktek yang begitu lazim kita jumpai dalam kontestasi politik belakangan ini.

***

Demokrasi adalah tentang memberikan pilihan kepada rakyat. Fenomena kotak kosong, meskipun masih dalam kerangka demokrasi, mengurangi esensi dari kompetisi politik yang sehat.

Untuk menjaga kualitas demokrasi, penting bagi semua pihak—partai politik, pemerintah, dan masyarakat—untuk bekerja sama dalam memastikan bahwa Pilkada tetap menjadi ajang kompetisi yang adil dan representatif.

Hanya dengan cara ini, demokrasi yang sejati dapat terus berkembang dan memberikan manfaat maksimal bagi seluruh warga negara. (*)