ININEWS – Kemarin dia mengeluh bahwa ia setiap hari selama hampir sepuluh tahun mencium bau kolonial. Ini karena dia menempati istana merdeka di Jakarta dan istana kepresidenan di Bogor. Keduanya adalah bangunan yang dibikin oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Saya kira, saya paham mengapa dia mengeluh. Ini adalah “keluhan strategis,” atau keluhan yang memang matang-matang dipersiapkan untuk memiliki efek politik. Begitulah cara seorang politisi berpikir.
Istana yang sedang dibangunnya itu dikritik kiri-kanan. Disamping kritik, istana itu juga mendapat banyak olok-olok. Dia berusaha untuk menanggapi olok-olok dan kritik itu hal yang sangat dangkal: nasionalisme.
Ya, nasionalisme itu dangkal, Sodara-sodara. Ia dibangun dari remeh temeh seperti bendera, emblem, dan simbol-simbol seperti istana negara misalnya. Kadang ia juga dibangun dari hal-hal tidak jelas seperti makam pahlawan tak dikenal.
Nasionalisme itu punya semangat, punya gairah, punya emosi yang sangat kuat. Namun, mungkin sangat sedikit dari kita yang sadar bahwa nasionalisme itu adalah ideologi yang sangat miskin secara filosofis.
Tidak seperti kapitalisme misalnya, yang punya dasar kokoh tentang pasar yang lahir dari hakekat manusia. Demikian juga sosialisme/komunisme juga lahir dari dasar yang sama kokohnya, yakni melawan eksploitasi manusia atas manusia.
Tapi nasionalisme? Apa hasil akhir manusia yang diperjuangkan? Manusia yang merdeka? Merdeka dari apa?
Dan nasionalisme seringkali adalah emosi. Bukan nalar. Jadi tokoh yang kita bicarakan ini, tahu persis bahwa kritik dan olok-olok yang menyudutkannya itu harus ia jawab dengan menyisipkan kolonialisme. Dus, pada saat bicara kolonialisme dia sebenarnya mencoba menjadi nasionalis!
Hanya saja, kawan kita yang bertahun-tahun membaui Kali Pepe di Solo ini, tidak pernah belajar sejarah. Negara ini didirikan dengan dasar kolonialisme. Tidak akan ada Indonesia tanpa kolonialisme!
Mungkin Sodara akan jengkel dengan kenyataan ini. Namun itulah yang sebenarnya terjadi. Jadi, Sodara kira sangat mudah menyatukan orang-orang dari berbagai bahasa, suku, adat-istiadat ini? Kekuatan apa yang mampu menjadi penyatu jajaran kepulauan yang katanya dari barat ke timur ini?
Indonesia dalam hampir semua hal adalah pewaris negara kolonial. Kita mewarisi sistem hukum kolonial. Kita mewarisi wilayah yang persis sama dengan wilayah administrasi kolonial. Kita mewarisi semua infrastruktur fisik, infrastruktur ekonomi, dan bahkan infrastruktur kebudayaan serta politik kolonial!
Bisakah Anda bayangkan adanya Indonesia tanpa negara kolonial? Tanpa adanya negara kolonial dan birokrasinya, kerajaan-kerajaan kecil itu yang jumlahnya ratusan, kalau tidak ribuan, itu akan saling membunuh, berperang dan bermusuhan satu sama lain.
Bayangkan, dalam satu daerah yang terpisah jarak 60 km, ada empat kerajaan! Empat! Dan mereka tidak pernah rukun satu sama lain. Untungnya, permusuhan itu punya satu kambing hitam: kolonialisme! Jadi semua masalah mereka sendiri bisa ditimpakan pada penguasa kolonial!
Jadi, ketika terdesak, kawan kita yang bertahun-tahun menghirup bau busuk Kali Pepe ini, bukan tanpa alasan mengeluh tentang gedung-gedung kolonial — dimana dia tidur nyenyak selama puluhan tahun! Bukankah hanya di istana kelelawar-nya itu saja dia mengeluh bahwa tidurnya tidak nyenyak?
Bukan itu saja, sebenarnya kawan ini, sudah tidur di gedung-gedung kolonial bertahun-tahun. Seorang sobat saya memberi catatan dimana dia pernah tidur dari berumah sejak menjadi politisi. Semuanya di gedung yang dibangun pemerintah kolonial!
Ini yang dicatat kawan saya itu. Dia menghuni Loji Gandrung (buatan tahun 1830), rumah dinas Walikota Solo selama 7 tahun.
Dia menghuni rumah dinas Gubernur Daerah Jakarta yang dibangun pada 1916 selama 2 tahun.
Dan, tentu dia menghuni Istana Merdeka, Istana Bogor serta banyak istana kepresidenan bikinan pemerintah kolonial ini 10 tahun.
Dan, tidak itu saja. Anaknya menghuni Loji Gandrung yang sama selama dua tahun!
Nah, sekarang dia berkilah bahwa dia menghirup bau kolonial selama 10 tahun? Faktanya, hampir 20 tahun dia menghidup bau-bau kolonial itu tanpa sedikit pun pernah protes! Bahkan anaknya pun ikut menghirup bau yang sama!
Dan, sekarang ia mendadak jadi nasionalis yang kapiran. Nasionalisme mungkin membangkitkan emosi. Namun ia juga menipu — pemberi harapan palsu, candu untuk menghilangkan penderitaan. Dan, kawan kita dari pinggir Kali Pepe ini sangat ahli dalam hal yang terakhir ini. [*]