Berita

Ketua KKLR Sulsel Hasbi Syamsu Ali: Tambang di Hulu Sungai adalah Biang Bencana dan Kemiskinan

Tim Redaksi
20
×

Ketua KKLR Sulsel Hasbi Syamsu Ali: Tambang di Hulu Sungai adalah Biang Bencana dan Kemiskinan

Sebarkan artikel ini

Disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan oleh MW KAHMI Sulsel di Hotel MaxOne Makassar, Sabtu (28/09/2024).

Ketua KKLR Sulsel Ir Hasbi Syamsu Ali berfoto bersama dengan panitia FGD Banjir KAHMI Sulsel, Sabtu (28/09/2024).
Ketua KKLR Sulsel Ir Hasbi Syamsu Ali berfoto bersama dengan panitia FGD Banjir KAHMI Sulsel, Sabtu (28/09/2024).

Makassar, ININEWS – Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) Provinsi Sulawesi Selatan Ir. Hasbi Syamsu Ali, MM menjadi salah satu peserta pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan oleh MW KAHMI Sulsel di Hotel MaxOne Makassar, Sabtu (28/09/2024).

Kedatangan Hasbi pada FGD yang menyoal bencana banjir dan tanah longsor di Sulsel itu, sontak menarik perhatian sejumlah pihak. Betapa tidak, sebagian besar bencana yang dibahas terjadi di wilayah Luwu Raya, terutama di Kabupaten Luwu dan Luwu Utara.

Ditemui awak media usai acara, Hasbi mengapresiasi kegiatan yang dikomandoi oleh pengurus KAHMI Sulsel Asri Tadda yang juga adalah Sekretaris BPW KKLR Sulsel.

“FGD ini sangat baik, karena ada banyak pihak yang memang sangat kompeten berbicara mengungkap data dan fakta mengenai bencana banjir maupun tanah longsor di Sulsel, termasuk yang terjadi di Luwu Raya,” kata Hasbi.

Dari FGD yang dihadiri puluhan instansi, Lembaga dan organisasi terkait lingkungan hidup dan kebencanaan itu, Hasbi menangkap satu hal penting yang kerap memicu terjadinya bencana.

“Soal pengelolaan tambang. Dari data dan fakta yang diungkap di FGD tersebut, nyata terpampang bahwa tambang sering menjadi pemicu bencana di daerah,” jelasnya.

Selain itu, tambah Hasbi, keberadaan tambang secara tidak langsung bukan membuat masyarakat jadi kaya, melainkan justru membuat mereka tak kunjung terbebas dari belenggu kemiskinan.

“Warga yang didekat areal tambang sering bentrok dengan perusahaan yang melakukan eksplorasi karena konflik kepemilikan lahan. Padahal mereka sudah ada di tanah itu puluhan tahun sebelum perusahaan dating atas nama kontrak karya atau IUP,” terang alumni Lemhanas itu.

Konflik seperti ini, Hasbi menjelaskan, pada gilirannya menempatkan masyarakat berada pada posisi paling lemah sehingga seringkali berakhir dengan hilangnya hak atas kepemilikan lahan.

“Artinya, meski dapat kompensasi atas lahan itu, tetapi secara jangka panjang mereka kehilangan lahan kebun tempat mengais rezeki untuk keluarga. Ini awal pemiskinan,” tegasnya.

Selain itu, masyarakat yang bermukim di daerah hilir tambang juga hidup dengan resiko bencana yang tidak kecil. Hasbi bilang, sebagian besar bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Luwu Raya belakangan ini dipicu oleh aktifitas tambang di bagian hulu.

“Tambang eksploratif di bagian hulu jelas menjadi penyebab banjir dan tanah longsor di daerah hilir. Ini sangat merugikan masyarakat karena bencana silih berganti datang dan mereka jadi korban, baik secara materi maupun non-materi. Mereka jadi tambah miskin karena bencana rutin setiap tahun,” ungkap Hasbi.

Karena itu, ia berharap pemerintah meninjau kembali semua aktifitas pertambangan yang berada di daerah hulu sungai karena resikonya sangat besar merugikan bahkan memiskinkan rakyat.

“Kita bukannya alergi dengan tambang. Tapi kita ingin semua aktifitas itu dilakukan dengan arif dan bijaksana, memperhatikan local wisdom yang ada. Dengarkan suara rakyat kecil, jangan buat mereka semakin menderita dalam kemiskinan,” pungkas Hasbi. (*)